Pengantar Ilmu Sastra


Ø Bentuk Kritik Sastra

1.      New Criticism

                Tahun tiga puluhan sampai lima puluhan aliran ini sangat berpengaruh dalam dunia pembahasaan sastra di Amerika Serikat. Mulanya New Criticism melawan pendekatan sastra historic dan biografik serta kritik impresionistik.
                Sekalipun para New Critics tidak kompak, namun mereka sepakat bahwa hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat memperlihatkan karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Mereka memandang karya satra sebagai sebuah kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang pada saat penyelesaiannya meninggalkan syarat-syarat subjektifnya. Naik banding pada maksud (intention) pengarang, menurut Wimsatt, merupakan suatu jalan penalaran yang sesat, atau sebuah intentional fallacy. Juga sebuah sajak juga jangan dicampurkanbaurkan dengan kesan (affect) yang diperoleh pembaca, karena akan terjerumus dalam kritik subyektivis dan impresionis.
                Aliran New Criticism gemar sekali meneliti puisi para penyair dari berbagai zaman yang hasil karyanya sengaja disusun secara paradokssal, misalnya Donne dan T.S. Eliot. Tetapi sastra yang baik bercirikan paradox dan ironi.

2.      Merlyn

                Merlyn seorang Belanda yang juga sebuah majalah menjadi terkenal karena menafsirkan puisi dan novel-novel Belanda secara ergosentrik 1962-1966.
                Kelompok Merlyn tidak banyak menaruh perhatian secara sistematik bagi komunikasi sastra, yang mereka tuntut adalah otonomi karya sastra, yang menjadi titik balik mereka adalah situasi membaca bukan menulis. Terdapat sebuah teks sastra “yang digumuli oleh pembaca.
                Yang menjadi sasaran seorang kritikus adalah analisa kesastraan dan dengan bertumpu pada itu, Merlyn memberikan penilaiannya. Cara Max Havelaar, karya Multatuli itu, disusun dan bagian-bagiannya kait mengait, menentukan nilai sastranya. Yang merupakan criteria dalam penafsiran itu ialah kesatuan karya, serta konsistensi psikologi dalam komposisi, gaya dan “psikologi”.
                Bagi kelompok Merlyn itu, sebuah karya sastra didekati dengan tepat bila kita mempergunakan analisa stuktural. Menurut definisi mereka stuktural ialah “cara yang unik segala aspek bentuk dan isi kait mengait”.

3.      Nouvelle Critique

                Di Perancis pada tahun enam puluhan diskusi mengenai sastra dikuasai oleh aliran Nouvelle Critique. Karena pendekatan mereka berbeda-beda maka sukarlah menghimpun mereka dalam wadah satu aliran. Menurut Roland Barthes, tokoh utama dari Nouvelle Critique itu, kritik sastra di kalangan universitas hanya “membuat ikhtisar-ikhtisar lalu membuat penilaian”.
                Berlainan dengan kaum New Critics dan kelompok Merlyn, kaum kritisi baru di Perancis tidak yakin bahwa sebuah karya sastra dapat ditafsirkan secara tuntas dan arti yang sesungguhnya dapat diungkapkan.
                Para penganut Nouvelle Critique, biarpun berbeda-beda dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis, selalu ingin menunjukkan struktur-struktuk. Dalam sebuah struktur kelihatan tata susunan dan keberkaitan intern. Nouvelle Critique menamakan diri strukturalistik. Menurut Barthes, kritik menciptakan arti-arti sedangkan ilmu sastra melukiskan berdasarkan penalaran mana arti-arti itu dihasilkan.

4.      Poststrukturalisme atau Dekonstruksi

                Sejak tahun enam puluhan kedudukan kaum New Criticism di Amerika Serikat sangat digoncangkan. Terpengaruh juga oleh Nouvelle Critique dan penelitian di Eropa mengenai resepsi (cara seorang pembaca menerima sebuah teks) maka di Amerika pun perhatian bergeser dari teks kea rah pembaca.
                Stanley Fish seorang ahli estetika-resepsi meneliti proses pembaca maupun perbedaan-perbedaan dalam interpretasi yang timbul bila pembaca-pembaca dengan pengetahuan bahasa yang berbeda-beda, pengalaman literer yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, membaca teks yang sama.
                Para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks mencerminkan kenyataan. Sebuah mnovel karangan George Eliot tidak mencerminkan masyarakat Inggris pada zaman Ratu Victoria : kesan seolah-olah masyarakat itu sungguh hadir, disebabkan oleh kemampuan bahasa untuk menghadirkan sesuatu yang tidak ada, seolah-olah ada.
                Yang menjadi sasaran dekonstruksi ialah memperlihatkan, sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiranguna member bentuk kepada suatu visi tertentu.
                Teks kritik sastra merupakan sebuah mata rantai dalam suatu rantai yang tak ada ujungnya. Aliran dekonstruksialisme mengatakan, bahwa mereka didukung oleh suatu filsafat tertentu serta sebuah pandangan mengenai bahasa.

Ø Penafsiran dalam Ilmu Sastra

·         Resepsi dan Penafsiran

                Kita membedakan penerimaan (resepsi) sebuah teks sastra dari penafsirannya (interpretasi). Penerimaan (resepsi) ialah setiap reaksi dari pihak pembaca terhadap teks, entah itu reaksi langsung ataupun tidak langsung. Adapun penafsiran ialah bentuk khusus mengenai laporan penerimaan. Sama seperti dalam proses penerimaan biasa, maka pembaca yang menafsirkan mengartikan sebuah teks, tetapi tafsiran-tafsiran selalu disusun secara sistematik.
                Ilmu sastra dalam arti kata sempit tidak menyusun tafsiran-tafsiran. Penafsiran termasuk bidang kritik sastra. Tafsiran-tafsiran seperti semua bentuk penerimaan, merupakan bahan penelitian bagi ilmu sastra, khusus mengenai hubungan antara teks dan pembaca.

·         Jenis-jenis Interpretasi

                Dibedakan enam jenis pokok, yaitu:
1)      Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas. Menurut pandangan ini, maka isyarat-isyarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi seorang pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat.
2)      Penafsiran yang berusaha untuk menyusun kembali arti historic. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak dari teks sendiri atau data di luar teks.
3)      Penafsiran hermeneutic baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memperpadukan masa silam dan masa kini. Si juru tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah suatu arus sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran: cara ia mengerti teks turut dihasilkan oleh tradisi.
4)      Tafsiran-tafsiran yang dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Dalam kelompok ini kita jumpai penafsiran marxis dan feminis.
5)      Tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada suatu problematic tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi.
6)      Tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai subuah teks diartikan, melainkan hanya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.


·         Tahap-tahap dalam Penafsiran

                Bila juru tafsir ingin menyampaikan suatu ungkapan mengenai arti teks yang memadai atau sah, maka secara skematik dapat dibedakan empat tahab, yang dalam praktek sering tumpang tindih:
-  Menentukan arti langsung yang primer
-  Bila perlu menjelaskan arti-arti implicit
-  Menentukan tema
-  Bila perlu memperluas arti-arti simbolik

·         Laporan dan Proses dalam Penafsiran

                Dalam sebuah laporan sebaiknya dapat diperlihatkan bahwa penafsiran yang diajukan mencakup karya sastra dengan sebanyak mungkin detail dan struktur, dan bahwa tidak ada unsure-unsur yang “digelapkan”.
                Proses penafsiran pernah dilukiskan sebagai suatu gerak melingkar dank arena ilmu mengenai penafsiran juga dinamakan hermeneutika, maka juga dipakai istilah lingkaran hermeneutika. Keseluruhan karya kita mengerti dari bagian-bagiannya, dan bagian-bagian itu dari suatu pengertian tentang keseluruhan yang lambat laun terbina.
                Sebuah deskripsi lain mengenai proses penafsiran dipinjam dari psikologi perkembangan. Semua proses pengetahuan, termasuk penafsiran menggunakan skema-skema yang dapat dikoreksi.

Ø Menilai Teks-teks Sastra

·         Penilaian dan Susunannya

                Sebuah penilaian yang masuk akal hendaknya memperhitungkan sejauh mana obyek yang satu dapat dibandingkan dengan obyak yang lain. Suatu penilaian selalu menimbulkan dua pertanyaan yaitu kriteria mana yang dipergunakan sang kritikus dalam penilaiannya? Dan alasan-alasan mana dapat diajukan untuk mendukung penilaian-penilaiannya?

·         Pengaruh Zaman dan Subyek

                Penilaian-penilaian tidak tetap sama dari zaman ke zaman. Kurun-kurun waktu sebuah karya tertentu seolah-olah dilupakan. Matheus Passion (Kisah Sengsara Kristus) ciptaan Bach baru “ditemukan kembali” oleh Mendelssohn pada tahun 1829.
                Perubahan dalam penilaian berkaitan dengan perubahan dalam keadaan social dan historic masyarakat umum dan dengan pandangan mengenai sastra yang berubah. Aliran Romantik menolak sonata-soneta Shakespeare karena aliran tersebut suka akan segala sesuatu yang alami dan spontan, padahal sonata-soneta Shakespeare tersusun dengan cukup berbelit-belit.
                Tidak hanya dari zaman ke zaman tetapi dalam kurun waktu yang sama kelihatan juga pembaca-pembaca dari berbagai aliran. Bandingkan saja resensi-resensi dalam berbagai majalah, agar kita menjadi yakin mengenai kebenaran pepatah ini: “The beauty of the thing is in the eye of the beholder”. Keyakinan pribadi, social, religious, dan politik dapat menyebabkan perbedaan dalam penilaian.

·         Kriteria dalam Penilaian

Kriteria yang mengaitkan karya dan pengarang Nampak pada kriterium ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dengan baik. Juga dalam kriterium intense: sebuah karya adalah baik bila intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-norma.
Kelompok kriteria yang kedua ialah mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru didalamnya: kriterium realisme atau mimesis, sebuah karya dinilai baik kenyataan diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara tipikal (menampilkan cirri-ciri yang khas).
Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan criteria politik, religious atau moral. Karya dinilai baik apabila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap penting oleh pihak kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh pengarang sendiri.
Kelompok keempat sebagian berkaitan dengan ckriteria di atas yaitu criteria yang memperlihatkan kemampuan karya untuk mengasyikkan pembaca, atau yang dapat menarik perhatiannya ataupun dapat mengharukan hatinya: kriteria emotivitas.
Kelompok kelima diarahkan kepada karya itu sendiri. Kriteria struktur itu memperhatikan susunan, keberkaitan dan kesatuan (atau justru terpecah-pecahnya) karya sastra.
Akhirnya kriteria tradisi menilai sebuah karya menurut daya pembaharuannya atau justru sebaliknya, sejauh karya itu setia terhadap tradisi dalam hal gaya dan periode.

·         Argumentasi dalam Penilaian

Seorang kritikus yang berhaluan structural dengan cukup jelas dapat menunjukkan bahwa sarana bahasa yang dipergunakan oleh penulis cerita detektif Frederic Dard dalam Le bourreau pleure (Algojo menangis) lebih bersifat konvensional daripada bahasa yang dipergunakan Patricia Highsmith dalam Edith’s Diary dan bahwa Frederic lebih sering memakai metafora dan perumpamaan yang usang.
Apabila kita mempadukan argumentasi structural, realistic, dan moral, maka ini membantu kita menilai untuk sementara karya Dark sebagai “sastra picisan” sedangkan tulisan Highsmith dapat dinilai sebagai “berbau sastra”.
Akhirnya dapat disebut beberapa syarat yang seharusya dipenuhi oleh sebuah laporan evaluasi yang ideal:
a)      Sang kritikus harus menunjukkan, entah dalam kritiknya entah dalam suatu uraian umum, fungsi mana diharapkan dari sastra dan criteria mana (oleh karenanya) dipergunakannya.
b)      Sang kritikus harus menjelaskan kriterianya sambil mengutarakan contoh-contoh
c)       Kritik harus dapat dibuktikan dengan mengajukan data dari teks.
d)      Sedapat mungkin digunakan berbagai criteria yang saling melengkapi.
e)      Setiap kritik harus memperhatikan argumentasi srtuktural, bentuk seni yang disebut sastra menuntut agar isi dengan sadar dituangkan dalam bentuk tertentu.
f)       Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan menempatkan karya itu di dalam keseluruhan karya-karya pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu jenis sastra tertentu atau aliran tertentu.

0 komentar:

Posting Komentar